Sabtu, 14 Mei 2011

“Kesenian Wayang Topeng Malangan”


BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Di Indonesia mempunyai berbagai macam kesenian Islam. Salah satunya adalah kesenian Wayang. Wayang adalah salah satu seni budaya bangsa Indonesia yang menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya Wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan. Budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa..

Seperti wayang yang ada di Malang atau yang biasa disebut dengan Wayang Topeng Malangan. Yang berada didaerah Dusun Pijiombo, Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang. Wayang Topeng Malangan merupakan salah satu bagian dari seni pewayangan di Jawa Timuran, yang hidup dan berkembang secara lokal. Mempunyai ciri-ciri khusus yang menunjukkan perbedaan gaya dari daerah lain. Pertunjukkan Wayang Topeng Malangan hidup didaerah pedesaan yang mayoritas penggemarnya adalah kaum petani. Bahkan, masyarakat mengakui bahwasannya Wayang Topeng Malangan adalah wayang milik orang desa. Oleh karena itu yang menyebabkan Wayang Topeng Malangan tidak dikenalkan kemasyarakat luas. Karya ilmiah ini akan membahas kesenian Wayang Topeng Malangan yang selama ini banyak masyarakat diluar kota Malang yang belum mengetahui dan supaya kesenian ini tidak sirna

2. Rumusan Masalah

A. Bagaimana sejarah Wayang Topeng Malangan?

B. Bagaimana struktur Pertunjukan Wayang Topeng Malangan sekarang ini?

C. Bagaimana Wayang dalam Islam?

3. Tujuan

A. Untuk mengetahui sejarah Wayang Topeng Malangan

B. Untuk mengetahui struktur pertunjukan Wayang Topeng Malangan sekarang

C. Untuk mengetahui Wayang dalam Islam

4. Manfaat

Penulisan karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca, karena pembaca bisa mengetahui salah satu tradisi yang ada di Malang yaitu wayang topeng malangan. Tradisi wayang sekarang hampir punah disebabkan banyak masyarakat yang tidak percaya lagi dengan mitos atau cerita zaman dahulu. Makalah ini ditulis supaya tradisi yang hampir punah ini masih dilestarikan meskipun zamannya sudah modern. Kerena didalam tadisi wayang banyak manfaatnya bagi masyarakat seperti beramal kepada fakir miskin, gotong royong dan lain-lain.

5. Teori

Dalam makalah ini terdapat dua teori yaitu teori religi dan hiburan. Terdapat teori religi karena ada ritual keagamaannya,seperti memanggil roh nenek moyang supaya memberikan pertolongan, dengan jalan memasuki topeng dan dapat menjalin hubungan silaturahmi antar tetangga dan saudara. Teori hiburan karena masyarakat bisa berwisata dan berkumpul bersama dengan keluarga dan tetangga.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Wayang Topeng Malangan

Wayang Topeng Malangan merupakan tradisi kultural dan religius masyarakat Jawa. Namun wayang topeng tidak diperuntukkan acara-acara kesenian seperti sekarang ini. Wayang Topeng waktu itu yang terbuat dari batu adalah bagian dari acara persembahyangan. Barulah pada masa Raja Erlangga, topeng menjadi kesenian tari. Topeng digunakan menari waktu itu untuk mendukung fleksibilitas si penari. Sebab waktu itu sulit untuk mendapatkan riasan, untuk mempermudah riasan, maka para penari tinggal mengenakan topeng di mukanya.

Karena wilayah Jawa waktu itu adalah area berkembangnya Agama Hindu yang datang dari India, maka cerita-cerita wayang, termasuk wayang topeng juga mengambil cerita dari India, seperti kisah kisah Mahabarata dan Ramayana. Henri Supriyanto penulis buku Wayang Topeng Malangan menyatakan bahwa “ada pola berfikir India, karena sastra yang dominan adalah sastra India. Jadi cerita Dewata, cerita pertapaan, kesaktian, kahyangan, lalu kematian itu menjadi muksa. Sehingga sebutan-sebutannya menjadi Bhatara Agung. Jadi itu peninggalan leluhur kita, sewaktu leluhur kita masih menganut agama Hindu Jawa, yang orientasinya masih India murni”[1]. Begitu dominannya sastra India waktu itu, diakui dalam banyak hal, terutama kasusastraan Jawa waktu itu banyak menyerap dan membumikan nilai-nilai India yang integrated dengan Agama Hindu itu di tanah Jawa.

Kemampuan untuk menyerap segala sesuatunya dan membumikan dalam nilai kejawaan juga banyak terjadi tatkala Islam dan Jawa mulai bergumul dalam konteks wayang topeng. Wayang topeng dengan mengambil cerita yang sekarang banyak berkembang didaerah Sunda adalah bagian dari upaya Islam untuk merebut hati orang Jawa. Proses Islamisasi Wayang topeng oleh para wali dengan menampilkan kisah marmoyo sunat adalah sederet cerita bagaimana Islam memproduksi nilai didalamnya.

Wayang Topeng Malangan pada zaman sekarang ini biasanya diadakan setiap Bulan Selo ,dalam perhitungan kalender Jawa. Selalu dirayakan upacara ritual bersih desa dan kirap topeng[2]. Acara ritual itu merupakan tradisi turun temurun diwilayah itu. Wayang Topeng Malang tumbuh dan berkembang secara lisan. Seperti yang dikatakan Ki Wuryan bahwa pedhalangan gaya malangan tidak mempunyai pujangga, maksudnya pedhalangan Malangan hidup secara turun-temurun tanpa memiliki buku pegangan atau pakem tertulis sebagaai panutan.[3] Dhalang-dhalang Malang banyak yang bukan keturunan dhalang, mereka sebagaian besar belajar atas dorongan bakat alami, yang kemudian digurukan kepada dhalang-dhalang yang dianggap senior.

Pertunjukkan wayang Topeng Malangan yang ada sekarang ini merupakan pembaharuan dari tradisi wayangan sebelumnya yang mewujudkan suatu bentuk pertunjukkan multidimensi, sebagai manifesti pembaharuan unsur-unsur kesenian daerah setempat. Kini, dalam perkembangannya Wayang Topeng Malangan nyaris hanya terdapat empat tempat persemaian Topeng Malangan. Tumpang, Pakisaji, Wonosari dan Kromengan merupakan situs utama produksi dan kreasi Topeng Malangan. Namun kesemuanya secara homogen menampilkan cerita-cerita panji sebagai relasi pararelitas historis dengan sejarah Malang sendiri yang panjang yang sangat resisten terhadap kekuasaan Mataram. Akan tetapi yang pasti adalah topeng merupakan wujud kepribadian ganda (double coding), sebuah kedok masyarakat brang wetan untuk tidak menapilkan jatidiri yang sebenarnya agar tidak dapat teridentifikasi secara jelas oleh pusat pusat kekuasaan. Ini tentu sebuah siasat cerdas.

B. Struktur Pertunjukan Wayang Topeng Malangan

Struktur pertunjukkan Wayang Topeng Malngan sekarang pada umumnya diawali oleh sajian gendhing-gendhing[4] giro, kemudian tari ngerema (gaya putera atau putri) sebagai ucapan selamat datang kepada penonton. Setelah tari ngrema dilanjutkan lawakan ludruk (kadang-kadang tanpa pelawak), kemudian gendhing-gendhing talu wayangan. Dalam sajian pakeliran siklus waktunya dibagi lima tingkatan yaitu: Pathet sepuluh (Untuk gendhing talu saja), Pathet wolu, Pathet sanga, Pathet miring dan Pathet serang. Biasanya sebelum tancep kayon, sajian diakhiri dengan penampilan tari beskalan dan tayuban, oleh boneka perempuan dan laki-laki, yang diiringi gendhing ijo-ijo dilanjutkan gonjor

C. Wayang dalam Islam

Wayang merupakan hasil budaya yang memiliki nilai yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia. Kesempuranaan wujud wayang kulit yang dikenal sekarang ini, tidak terlepas dari peran para ahli masa lampau. Penciptaan wayang didasari oleh keyakinan yang dianut masyarakat pada saat itu. Dalam hal keyakinan atau kepercayaan yang dianut itu sangat menentukan terhadap tingkah laku atau perbuatan manusia, tidak ketinggalan kegiatan berkesenian juga mendapat pengaruh yang cukup besar.

Agma Islam yang ada pada dasarnya tidak menghendaki perwujudan mahluk hidup dalam bentuk nyata tidak sampai mengurangi nilai seni rupa wayang dengan menambah dan menyempurnakan seni wayang[5] Para ahli masa lalu mengatakan “bahwa kesenian yang ada sebelum Islam adalah haram hukumnya”.[6] Seni pada masa sebelum Islam diantaranya : wayang kulit yang diasumsikan mirip dengan wayang Bali, kemudian wayang Beber. Beberapa hasil seni seperti tersebut diatas, dianggap medatangkan kemusyrikan sehingga ditinggalkan. Namun dalam masa Islam ini wayang kulit menjadi sangat popular dan semakin sempurna penampilannya, ini merupakan suatu masalah yang perlu segera mendapat jawaban. Melihat kenyataan itu para ahli mencari jalan keluar agar wayang tidak bertentangan dengan syariat, melihat telah dikenalnnya wayang dalam masyarakat dan telah menjadi salah satu kegemarannya, merupakan aset besar untuk keperluan dakwah. Oleh karena itu akan menguntungkan bila dimanfaatkan sebagai sarana penyebaran agama Islam.

Wayang sebelum Islam penggambarannya berdasar wujud yang dilihat dengan sedikit stilasi sesuai dengan materi dan tekniknya, sehingga hasilnya masih sangat dekat dengan wujud manusia. Berdasarkan pengalaman dan analisis terhadap wayang sebelum Islam, maka para ahli membuat wayang baru dengan stylasi berdasarkan pengertian tentang manusia. Oleh karena itu muncul penggambaran yang dipanjang-panjangkan. Seperti[7]: hidung lancip yang berlebihan untuk tokoh alusan, leher dibuat sebesar lengan dan panjang, kemudian tangannya panjangnya hingga menyentuh kaki. Kemudian penggambaran mulut dibuat berliku-liku, yang tidak dijumpai manusia. Stylasi ini dilakukan hingga berhasil menggambarkan bentuk wayang yang kemudian dikenal seperti sekarang ini. Berkaitan dengan perwujudan wayang dalam masa Islam ini satu pendapat mengatakan bahwa: sesungguhnya bentuk wayang merupakan suatu kaligrafi huruf Arab dari tulisan yang berbunyi Allah.

Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.[8]

Dalam sejarahnya,para Wali berperan besar dalam pengembangan pewayangan di Indonesia. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Bahkan para wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain yaitu “Mana yang Isi (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) dan mana yang harus dicari (Wayang Golek)”.

Disamping menggunakan wayang sebagai media dakwahnya,para wali juga melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya lainnya contohnya melalui penciptaan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan lakon Islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya. Sunan Kalijaga adalah salah satu Walisongo yang tekenal dengan minatnya dalam berdakwah melalui budaya dan kesenian lokal.Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.

Kelebihan intelektual yang mereka miliki sebagai kelompok yang datang dari peradaban yang lebih maju mereka abdikan untuk membangun masyarakat Indonesia pada saat itu. Sarana lain yang mereka lakukan dalam dakwah mereka adalah dengan membentuk keluarga-keluarga Islam dengan jalan menikahi penduduk pribumi serta putri para raja.Selanjutnya mereka berhasil mengislamkan keluarga kerajaan serta mengangkat harkat hidup mereka dari segi intelektual maupun ekonomi.Para penyebar agama Islam yang kebanyakan merupakan pedagang memiliki bargaining position yang kuat serta disegani oleh masyarakat.Selain itu akhlak mereka juga mampu mengambil simpati masyarakat.

Kesimpulan

Wayang Topeng Malangan merupakan salah satu bagian dari seni pewayangan Jawa Timuran yang hidup dan berkembang secara local. Wayang Topeng Malangan tidak berkesan sebagai kesenian keraton, melainkan sebagai kesenian rakyat terutama untuk para petani yang diwarnai oleh bahasa etnis Jawa Timuran, serta dilatar belakangi oleh budaya pesisir yang mayoritas terdiri dari masyarakat agraris. Kesenian ini tumbuh dan berkembang secara lisan dan tidak memiliki pujangga. Wayang Topeng Malangan merupakan tradisi lisan.

Daftar Pustaka

averroes.or.id/.../topeng-malangan-simbol-pertarungan-berbagai-identitas.html

community.um.ac.id/showthread.php?63712-Sejarah-Wayang

Sunarto, Seni Gatra Wayang Kulit Purwa(Jakarta: Dahar Prize, 1997)

Suyanto, Wayang Malangan( Surakarta: Citra Etnika Surakarta,2002)

Wiyoso Yudoseputro, Pengantar Seni Rupa Islam Di Indonesia( Bandung: Angksa,1986)



[1] averroes.or.id/.../topeng-malangan-simbol-pertarungan-berbagai-identitas.html

[2] Ibid.

[3] Suyanto, Wayang Malangan( Surakarta: Citra Etnika Surakarta,2002) hlm 162

[4] Gendhing adalah lagu atau nyanyian Jawa

[5] Wiyoso Yudoseputro, Pengantar Seni Rupa Islam Di Indonesia( Bandung: Angksa,1986) Hal.93

[6] Sunarto, Seni Gatra Wayang Kulit Purwa(Jakarta: Dahar Prize, 1997) Hal.30

[7] Sunarto, Seni Gatra Wayang……Hal.31

[8] community.um.ac.id/showthread.php?63712-Sejarah-Wayang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar