Selasa, 29 November 2011

Ciri Kota Islam Cordoba

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Cordoba adalah salah satu kota di Andalusia yang terletak di belahan barat Spanyol. Kota ini memanjang di tepi kanan sungai Lembah Besar. Cordoba merupakan kota tua Iberia dengan nama Iberi Baht, kemudian orang Arab menyebutnya Qurthubah atau Cordoba. Cordoba pernah dikuasai oleh penguasa Romawi, Lothair, lalu dijadikan ibukota Spanyol pada tahun 169 SM. Sejak itu, Kordoba menjadi salah satu wilayah kekuasaan Imperium Romawi.
Islam masuk ke kota Cordoba pada tahun 93 H atau 711 M. dibawa oleh Thariq bin Ziad yang datang memimpin pasukan Islam untuk menaklukkan Andalusia. Ketika itu panglima Islam Tariq bin Ziad atas perintah gubernur Afrika Utara, di bawah pemerintahan Walid bin Abdul Malik atau Al-Walid I (705-715) dari Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Spanyol dari Goth Barat, Kekaisaran Visigoth. Dengan dikuasainya Spanyol, 700 tentara kavaleri Islam yang dipimpin panglima perang Mugith Ar- Rumi, seorang bekas budak, dengan mudah menguasai Cordoba. Kordoba diduduki oleh penguasa-penguasa Andalusia selama hampir tiga abad hingga runtuhnya kekhalifahan di Andalusia. Cordoba sebagai Pusat Ilmu Pengetahuan, Kebudayaan, Kesenian dan Kesusasteraan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah masuknya Islam di Cordoba?
2.      Bagaimana ciri-ciri kota Islam di Timur Tengah ?
3.      Bagaimana Tata Letak Kota Islam di Cordoba?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui sejarah masuknya Islam di Cordoba.
2.      Untuk mengetahui ciri-ciri kota Islam di Timur Tengah.
3.      Untuk mengetahui Tata Letak Kota Islam di Cordoba

 
BAB II
PEMBAHASAN

1.      Sejarah Masuknya Islam di Cordoba
Kota Cordoba, yang awalnya bernama Iberi Baht,  dibangun pada masa pemerintahan Romawi berkuasa di Guadalquivir. Lima abad kemudian, kota ini  berada dalam kekuasaan Bizantium di bawah komando Raja Goth Barat. Sejarah Cordoba memasuki babak baru saat Islam datang ke wilayah itu pada 711 M atau 93 H. Ketika itu panglima Islam Tariq bin Ziad atas perintah gubernur Afrika Utara, di bawah pemerintahan Walid bin Abdul Malik atau Al-Walid I (705-715) dari Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Spanyol dari Goth Barat, Kekaisaran Visigoth. Dengan dikuasainya Spanyol, 700 tentara kavaleri Islam yang dipimpin panglima perang Mugith Ar- Rumi, seorang bekas budak, dengan mudah menguasai Cordoba.[1]
Penaklukan Cordoba dilakukan pada malam hari. Mugith Ar- Rumi dengan pasukan berkudanya berhasil mendobrak tembok Cordoba. Selain menguasai Cordoba, pasukan tentara Islam juga menaklukan wilayah-wilayah lain di Spanyol seperti, Toledo, Seville, Malaga serta Elvira. Selama pemerintahan Umayyah berpusat di Damaskus, Toledolah yang dijadikan ibu kota Spanyol. Cordoba baru menjadi ibukota Spanyol ketika dinasti tersebut  ditumbangkan oleh Dinasti Abbasiyah tahun 750 M.
Abdurrahman Ad-Dakhil atau Abdurrahman I sebagai penerus Dinasti Ummayah pindah ke Spanyol, yang waktu itu Islam sudah eksis. Ia menjadikan kota Cordoba sebagai ibukota pemerintahan dinastinya di benua Eropa. Dalam membangun kota ini ia mengundang dan mendatangkan ahli fikih, alim ulama, ahli filasafat, dan ahli syair untuk bertandang dan mengembangkan ilmunya di Cordoba. Akhirnya kota ini menjadi pusat perkembangan ilmu, pengetahuan, kesenian dan kesusasteraan di seantero benua Eropa.[2]
Puncak kejayaan dan masa keemasan Cordoba mulai berlangsung pada era pemerintahan Khalifah Abdul Rahman An-Nasir dan pada zaman pemerintahan anaknya Al-Hakam. Ketika itu, Cordoba telah mencapai kejayaannya hingga pada taraf kekayaan dan kemewahan yang belum pernah tercapai sebelumnya. Pembangunan pada masa ini tumbuh pesat. Bangunan-bangunan berarsitektur megah bermunculan. Ketika malam tiba, jalan-jalan di kota hingga keluar kota diterangi lampu hias yang cantik dan anggun. Kota Cordoba pun terbebas dari sampah. Taman-taman nan indah menjadi daya tarik bagi para pendatang yang singgah di kota itu. Mereka bersantai di taman yang dipenuhi bunga dan tata landskap. Tak heran, bila pada era itu Cordoba mempu mensejajarkan diri dengan Baghdad sebagai ibu kota pemerintahan Abbasiyah. Tak cuma itu, Cordoba juga setaraf dengan Konstantinopel, ibu kota kerajaan Bizantium serta Kaherah, ibukota kerajaan Fatimiah.
Saat Cordoba berada dalam puncak kejayaannya (abad ke 9 dan 10 M) terdapat lebih dari 200 000 rumah di dalam kotanya. Jumlah masjid sebanyak 600 buah, 900 public baths, 50 rumah sakit dan sejumlah pasar besar yang menjadi pusat perdagangan dan sentra perekonomian. Pada saat itu, Cordoba telah mampu menempatkan duta besarnya hingga ke negara yang amat jauh seperti India dan Cina. Kota bersejarah yang bertengger di sepanjang tebing sungai Guadalquivir ini tidak ada tandingannya di Eropa dalam hal kemajuan peradabannya.


2.      Ciri-ciri Kota Islam di Timur Tengah
Kota adalah tempat Negara (daulah) menikmati ketika mencapai tujuan barunya gaya kehidupan lux dan kenyamanan. Maka dari itu, penduduknya lebih memilih kehidupan damai dan nyaman maupun membangun berbagai bangunan kehidupan damai dan nyaman, maupun membangun berbagai bangunan hunian untuk ditinggali. Adapun fakta yang menyatakan bahwa kota ialah dibangun untuk berfungsi sebagai tempat untuk pemukiman dan perlindungan,  segala hal yang membahayakan yang berasal dari baik sesame manusia maupun lungkungan alamiah yang sementara ataupun dalam waktu yang lama sepatutnya dapat dihalau jauh-jauh dari mereka (yang menghuni didalamnya) dengan cara sebisa mungkin  efektif.
Menurut Ibnu Khaldun kota berfungsi sebagai penjaga (al-himaya) yang mencegah berbagai hal yang mendatangkan bahaya sebagai pertahanan diri yang menghalau setiap serangan dan disitulah ia mendapatkan segala kebutuhan dan komoditinya. Hanya disanalah penduduknya mendapatkan perlindungan didalam tembok pertahanan yang mengelilinginya. Maka dari itu ia sudah seharusnya di posisikan pada lokasi yang tidak dapat dijangkau (inacceessable) oleh musuh, bagi serangan tiba-tiba , diatas bukit terjal atau diatas bagian (pulau) yang dikelilingi air, disungai ataupun parit pertahanan, yang hanya bias dilalui dengan bantuan alat penyebrangan sehingga sulit untuk dapat dijangkau dan disana penduduknya sepenuhnya merasa aman dan terlindungi.[3]
Berikut ini merupakan ciri-ciri kota Islam di Timur Tengah menurut V.F Costello dalam Urbanization in the Middle East (1997).
a.       Kota berbentuk  benteng pertahanan sebagai lokasi bagi kekuasaan militer, tembok benteng pertahanannya diatas posisi yang dijadikan sebagai pertahanan alamiah (semisal  kota Khorramanad, Iran masih bertahan utuh).
b.      Terdapatnya komplek istana kerajaan komplek hunian raja di istana mungkin sekali di tempat yang terpisah semisal kota kairo yang dulunya adalah di Kairo lama (fustat), atau semacam enclave yang didalamnya terdapat kumpulan masyarakat urban, sebgaiamana di istana Tokapi, Istanbul. Istana musim panas terkadang terletak di luar perbentangan, semisal di Fin dekat Khashan.
c.       Masjid pusat (jami’) dan bazaar. Fungsi utama masjid adalah tempat untuk berdoa, tempat lembaga pengadilan dan pusat pendidikan dan intelektual, tetapi ia juga menjadi fasilitas di bagian lain kompleks masjid untuk administrasi dan lembaga-lembaga pendidikan, disamping adanya fasilitas public semisal tempat pemandian.
d.      Komplek komersial juga ditemukan diseluruh kota, tetapi dari sehi ukuran luas dan kuantitas ketersediaan komoditi maupun jasa ukuran dan fungsi kota itu sendiri, Bazaar atau suq adalah pasar yang diberi perlindungan dari berbagai element. Didalam bazaar terdapat komplek untuk pertokoan, tempat-tempat monument, dan sentra komersal yang lebih besar adalah khan dan caravanserai yang didesain untuk berkumpulnya para pedagang dan pergudangan yang menyimpan komoditi.
e.       Terakhir adalah cirri khas yang menjadi pertanda umum kota-kota Islam di Timur Tengah adalah tipe rumahnya. Di tanah Arab dan Persia yang menjadi basis unit runah kediaman adalah perumahan yang dibangun dengan bahan tertentu yang mengelilingi lokasi istana yang berada pada pusatnya, acapkali dengan persediaan kolam. Ia justru menghadap kedalam menghindari riuhnya kehidupan khalayak yang ramai. Bentuk rumahnya adalah hasil dari tantangan lingkungan kehidupan keluarga dan ideology Islam.

3.      Tata Letak Kota Cordoba di Andalusi
Andalusia, yang saat ini namanya masih dipertahankan sebagai salah satu provinsi di Spanyol, menyisakan banyak sekali jejak-jejak kejayaan Islam masa lalu di daratan Eropa. Beberapa diantaranya adalah Cordoba (terdapat The Great Mosque of Cordoba dan Medina Azzahara), Granada (tempat dimana Istana Alhambra juga dibangun disana), Malaga dan Toledo. Berikut sekilas mengenai Cordoba, Medina Azzahara dan Toledo. Pada saat pemerintahan Khilafah Bani Umayyah, Cordoba menjadi ibukota Spanyol di bawah pemerintahan khalifah Islam dan dikenal tidak ada tandingannya di Eropa dalam hal kemajuan peradabannya. Cordoba pada saat itu juga dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan, di mana volume kunjungan ke perpustakaannya mencapai 400.000 kunjungan sedangkan perpustakaan-perpustakaan besar di Eropa, volume pengunjungnya jarang mencapai angka seribu.[4]
Cordoba adalah ibukota Spanyol sebelum Islam, yang kemudian diambil alih oleh bani Umayyah. Oleh penguasa muslim, kota ini dibangun dan diperindah. Jembatan besar dibangun diatas sungai yang mengalir di tengah kota. Taman-taman dibangun untuk menghiasi ibukota Spayol islam itu. Pohon-pohon dan kembang nan indah di impor dari Timur. Di seputar ibukota berdiri istana-istana yang megah yang semakin memperindah pemandangan, setiap istana dan taman diberi nama tersendiri dan dipuncaknya terpancang Istana Damsik.

a.      Keadaan Kota Cordoba
Julukan permata dunia dinisbatkan pada Cordoba. Bukan tanpa dasar sebutan itu muncul. Sebab, Cordoba yang berada di wilayah Andalusia (Spanyol) itu sarat keindahan dan kemegahan. Umat Islam memainkan peran penting dalam membangun Cordoba yang mengundang decak kagum itu.
Menurut Ehsan Masood, sebelumnya, keadaan Cordoba tak seelok itu. Kota yang penting, namun tak diurus dengan baik. Abd al-Rahman mengubah kota itu secara drastis. Cordoba tak hanya menjelma sebagai pusat ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan, tapi juga kota metropolitan yang indah serta tertata rapi. Penataan Cordoba menandai pula puncak kejayaan pemerintahan Abd al-Rahman di dunia Barat. Kehebatan Cordoba menjadi simbol penting. Dalam History of the Arabs, Philip K Hitti tak ragu menyejajarkan Cordoba dengan dua kota masyhur lainnya di abad pertengahan, yaitu Baghdad, ibu kota pemerintahan Dinasti Abbasiyah dan Konstantinopel. Umat Islam, jelas dia, membangun Cordoba dengan kemampuan terbaiknya.[1]
Terdapat bangunan-bangunan berarsitektur indah, menara-menara tinggi, tembok besar, jalan-jalan yang lebar, kanal kota, juga pusat pendidikan dan ekonomi. Cordoba segera memperoleh popularitas internasional serta membangkitkan pesona dan kekaguman bagi para pengunjungnya. Philip K Hitti mencatat, pada puncak kejayaannya, Cordoba memiliki sekitar 130 ribu unit rumah tinggal, 73 perpustakaan besar, toko buku, masjid, istana, serta 21 kota satelit. Demikian pula bermil-mil jalan mulus yang memudahkan akses transportasi bagi warga dan para pedagang.
Sementara itu, dari catatan Thomas F Glick, pada masa Abd al-Rahman I memegang kekuasaan, populasi di Cordoba sudah mencapai 25 ribu jiwa. Jumlah itu terus bertambah hingga menjadi 100 ribu jiwa pada abad kesepuluh,[2] Pertumbuhan kota tak terelakkan, terutama terkait penyediaan lahan perumahan serta perekonomian. Cordoba adalah magnet bagi penduduk dari berbagai wilayah dan negara. Karenanya perlu diatur sedemikian rupa. Seluruh pembangunan diarahkan ke area-area tertentu sesuai fungsinya.
Begitu pula mulai muncul kota-kota satelit baru guna menunjang kehidupan di kota utama. Glick menyebutkan, struktur dan tata kota dikembangkan mengikuti sistem peninggalan bangsa Romawi. Cordoba sendiri dirancang sebagai kota terpadu. Di dalamnya mencakup fasilitas pemerintahan, perdagangan, maupun permukiman. Untuk itu, sistem jalan yang representatif dan terintegrasi sangat dibutuhkan. Seperti ciri kota Romawi lainnya, Cordoba dibangun bak benteng dengan pintu gerbang utama di empat penjuru mata angin. Muslim mengembangkan rintisan tata kota peradaban Romawi ini.
b.      Bagian-bagian kota Cordoba
Glick menguraikan, keseluruhan area kota terbagi menjadi pusat kota, pinggir kota, dan luar kota. Di jantung kota terkonsentrasi kantor-kantor pemerintahan. Masjid Cordoba didirikan pada lokasi yang sama agar memudahkan masyarakat mencapainya. Di pusat kota pula Abd al-Rahman membangun istananya nan megah. Demi menambah kenyamanan, kota dihiasi taman-taman, pelataran yang luas, juga air mancur. Lapangan rumput terdapat di beberapa bagian kota. Jalanan yang lebar memudahkan warga untuk beraktivitas. Kegiatan warga berpusat di sentra-sentra perdagangan. Pasar biasanya berada tak jauh dari pusat kota atau dekat dengan masjid.[3]
Di area tertentu berdiri pasar yang menjajakan barang dagangan. Misalnya, pasar perhiasan, kerajinan, atau toko buku. Perniagaan dan kegiatan sosial juga bisa berlangsung di ruas jalan tertentu atau pelataran. Jalan utama yang disebut dengan zuqaq al-kabir terhubung dengan pintu gerbang Lokasi itu menjadi area publik yang paling ramai. Karena itu, pemerintah menetapkan larangan agar di sana tak dibangun perumahan. Adapun kawasan permukiman terletak di wilayah pinggir kota. Tidak seperti di pusat kota, jalanan di wilayah permukiman dirancang tidak terlalu lebar. Hanya sekitar tiga meter. Jalan dibuat berkelok-kelok mengikuti kontur alam yang ada. Ini bertujuan agar sistem drainase dapat berfungsi baik sewaktu hujan turun. Tata letak permukiman menggunakan sistem blok. Menurut Glick, satu blok terdiri dari delapan atau sepuluh bangunan rumah. Pengaturan ini sangat penting untuk melahirkan kerapian.
Blok semacam itu juga bertujuan layaknya kluster perumahan pada masa modern sekarang, yaitu mengefektifkan pengamanan lingkungan. Beberapa kawasan permukiman, dihuni oleh komunitas non-Muslim, terutama penganut Yahudi dan Nasrani. Mereka melengkapi kawasannya dengan sarana ibadah, pendidikan, dan perdagangan. Dari kalangan Muslim, sejumlah komunitas membentuk kawasan tersendiri misalnya kaum Barber dari Afrika Utara. Kota satelit dibangun demi memperkuat daya dukung kota. Antara lain kota Madina al-Zahra dan Calatrava. Di lokasi itu berdiri banyak sarana, seperti kantor pemerintah dan fasilitas public.
Untuk wilayah luar kota, kawasan ini digunakan sebagai pusat pertanian, pertambangan, dan industri. Kawasan sebelah tenggara, seperti Zaragoza, dikenal beriklim sejuk dan sangat subur. Dari sini berbagai produk pertanian, seperti gandum, buah-buahan, dan zaitun, dihasilkan dan didistribusikan ke sejumlah kota. Sevilla menjadi pusat pengekspor kapas, zaitun, dan minyak, di samping merupakan kota pelabuhan terbesar. Dari wilayah Malaga dan Jaen, di sana ditanam kunyit, daun ara, juga dijadikan sentra kerajinan marmer. Sementara itu, di Toledo serta Almeria banyak ditemui perajin logam dan baja.
Majunya sektor perekonomian membuat kota-kota tadi turut bertumbuh pesat. Glick mengungkapkan, pembangunan kota-kota itu dilakukan serupa dengan konsep yang terdapat di Cordoba. Namun, mereka memiliki kekhususan. Kota Leon adalah pusat militer. Sedangkan, Santiago menjadi rute penting jamaah haji. Kota Jane dan Algave kondang dengan kegiatan kerajinan maupun pertambangan emas dan perak. ed: ferry kisihandi Pada perkembangannya, muhtasib juga mengemban tugas mengawasi ketertiban dan pembangunan kota. Mereka menjaga tata bangunan, termasuk mengatur ketinggian bangunan. Hal inilah yang menjadikan Cordoba dan kota-kota besar di dunia Islam sangat tertata.
Namun, kontribusi terbesar muhtasib adalah dalam menjaga ketertiban di pasar. Apalagi saat itu, salah satu tempat paling sibuk di Cordoba adalah pasar publik. Tak heran jika pengembangan pasar memperoleh perhatian besar. Lokasi pasar biasanya tak jauh dari pusat kota. Bahkan, pasar utama berdekatan dengan masjid besar. Pasar-pasar pendukung pun tersebar di beberapa kawasan atau permukiman warga. Ada beberapa jenis pasar. Pertama, pasar permanen (suq), yang kegiatannya berlangsung setiap hari.  Pasar ini terdiri dari bangunan toko yang ditata sebagai lokasi dagang.
Dilengkapi juga dengan jalan-jalan penghubung untuk mempermudah lalu lintas angkut barang. Terdapat pelataran luas yang mampu mengakomodasi keperluan pengunjung dan pedagang. Jenis pasar kedua adalah pasar yang digelar pada hari-hari tertentu dan berlangsung di beberapa lokasi. Di Distrik Castillan, misalnya, merupakan lokasi pasar Selasa. Pasar Rabu berlangsung di kawasan Arva, Alarba, Larva dan Distrik Valencia of Cuart. Sahagun menjadi tempat untuk pasar yang berlangsung setiap Senin, dan Najera bagi pasar Kamis. Pasar-pasar ini tidak kalah ramai dibanding aktivitas di pasar utama. Berbagai barang dagangan diperjualbelikan, baik yang dihasilkan di wilayah sekitar mapupun dari luar negeri. Pedagang asing banyak berdatangan ke Cordoba seiring perkembangan sejak abad 8 Masehi. Sedangkan, jenis lainnya, tambah Glick, adalah pasar yang menjual barang-barang tertentu, seperti pasar ternak yang ada di Castallan.

Kesimpulan
Dari penjelasan makalah ini maka dapat disimpulakan cirri-ciri fisik kota Islam dapat dilihat dari aspek yang sama dalam Negeri Islam. Seperti masjid jami’ dititik tengah kota sebagai pusat aktivitas religi- spiritual masyarakat kota, adapun aspek denyut nadi kehidupan ekonominya dapat dijumpai di bazaar (suqs), biasanya untuk menghindari serangan (invasi) dari luar kota Islam bercirikan memiliki perbentengan (dengan tembok-tembok pertahanan kokoh di sekelilingnya) yang melindungi rakyatnya dari para penakluk, keberadaan istana yang menjadi sentral administrative kota sudah tentu menjadi persyaratan sebuah kota. Rajamembangun pemukuiman pegawai administrative dan aparat kerajaannya, sehingga pada dasarnya kota Islam adalah pemukiman yang didiami oleh berbagai kluster family-famili yang menjadi anggota masyarakat kota Islam.


Daftar Pustaka
Adiwidjadjanto Koes, Sejarah Kota-Kota Islam, Fakul;tas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya,2009
Mencoal Maria Rosa, Sepotong Surga di Andalusia , Bandung: Mizn Media Utama, 2006
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasyah Islamiya II ,  Jakarta: PT Raja Grafindo, 2008
http://koran.republika.co.id/koran/36/122768/Tata_Kota_di_Andalusia (09 November 2010 )
http://www.artikel"Islamic and Christian Spain in the Early Middle Ages."



[1] http://koran.republika.co.id/koran/36/122768/Tata_Kota_di_Andalusia (09 November 2010 )

[2] http://www.artikel"Islamic and Christian Spain in the Early Middle Ages."
[3] Maria Rosa Mencoal, Sepotong Surga di Andalusia , (Bandung: Mizn Media Utama, 2006) hal 79



[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasyah Islamiya II ( Jakarta: PT Raja Grafindo, 2008), 88
[2]Ibid.,95
[3] Ibnu Khaldun, Muqadimah, h 273 dalam buku Koes Adiwidjadjanto, Sejarah Kota-Kota Islam, Fakul;tas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya2009,  hal 28