BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Cordoba
adalah salah satu kota di Andalusia yang terletak di belahan barat Spanyol.
Kota ini memanjang di tepi kanan sungai Lembah Besar. Cordoba merupakan kota
tua Iberia dengan nama Iberi Baht, kemudian orang Arab menyebutnya Qurthubah atau Cordoba. Cordoba pernah dikuasai
oleh penguasa Romawi, Lothair,
lalu dijadikan ibukota Spanyol pada tahun 169 SM. Sejak itu, Kordoba menjadi
salah satu wilayah kekuasaan Imperium Romawi.
Islam masuk ke kota Cordoba pada
tahun 93 H atau 711 M. dibawa oleh Thariq
bin Ziad yang datang memimpin pasukan Islam untuk menaklukkan Andalusia.
Ketika itu panglima Islam Tariq bin Ziad atas perintah gubernur Afrika Utara,
di bawah pemerintahan Walid bin Abdul Malik atau Al-Walid I (705-715) dari
Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Spanyol dari Goth Barat, Kekaisaran
Visigoth. Dengan dikuasainya Spanyol, 700 tentara kavaleri Islam yang dipimpin
panglima perang Mugith Ar- Rumi, seorang bekas budak, dengan mudah menguasai Cordoba.
Kordoba diduduki oleh penguasa-penguasa Andalusia selama hampir tiga abad
hingga runtuhnya kekhalifahan di Andalusia. Cordoba sebagai Pusat Ilmu Pengetahuan, Kebudayaan, Kesenian dan
Kesusasteraan.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah masuknya Islam
di Cordoba?
2.
Bagaimana ciri-ciri kota Islam di
Timur Tengah ?
3.
Bagaimana Tata Letak Kota Islam di
Cordoba?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui sejarah masuknya
Islam di Cordoba.
2.
Untuk mengetahui ciri-ciri kota
Islam di Timur Tengah.
3.
Untuk mengetahui Tata Letak Kota
Islam di Cordoba
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Masuknya Islam di Cordoba
Kota
Cordoba, yang awalnya bernama Iberi Baht, dibangun pada masa pemerintahan
Romawi berkuasa di Guadalquivir. Lima abad kemudian, kota ini berada
dalam kekuasaan Bizantium di bawah komando Raja Goth Barat. Sejarah
Cordoba memasuki babak baru saat Islam datang ke wilayah itu pada 711 M atau 93
H. Ketika itu panglima Islam Tariq bin Ziad atas perintah gubernur Afrika
Utara, di bawah pemerintahan Walid bin Abdul Malik atau Al-Walid I (705-715)
dari Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Spanyol dari Goth Barat, Kekaisaran
Visigoth. Dengan dikuasainya Spanyol, 700 tentara kavaleri Islam yang dipimpin
panglima perang Mugith Ar- Rumi, seorang bekas budak, dengan mudah menguasai
Cordoba.[1]
Penaklukan
Cordoba dilakukan pada malam hari. Mugith Ar- Rumi dengan pasukan berkudanya
berhasil mendobrak tembok Cordoba. Selain menguasai Cordoba, pasukan tentara
Islam juga menaklukan wilayah-wilayah lain di Spanyol seperti, Toledo, Seville,
Malaga serta Elvira. Selama pemerintahan Umayyah berpusat di Damaskus,
Toledolah yang dijadikan ibu kota Spanyol. Cordoba baru menjadi ibukota Spanyol
ketika dinasti tersebut ditumbangkan oleh Dinasti Abbasiyah tahun 750 M.
Abdurrahman
Ad-Dakhil atau Abdurrahman I sebagai penerus Dinasti Ummayah pindah ke Spanyol,
yang waktu itu Islam sudah eksis. Ia menjadikan kota Cordoba sebagai ibukota
pemerintahan dinastinya di benua Eropa. Dalam membangun kota ini ia mengundang
dan mendatangkan ahli fikih, alim ulama, ahli filasafat, dan ahli syair untuk
bertandang dan mengembangkan ilmunya di Cordoba. Akhirnya kota ini menjadi
pusat perkembangan ilmu, pengetahuan, kesenian dan kesusasteraan di seantero
benua Eropa.[2]
Puncak
kejayaan dan masa keemasan Cordoba mulai berlangsung pada era pemerintahan
Khalifah Abdul Rahman An-Nasir dan pada zaman pemerintahan anaknya Al-Hakam.
Ketika itu, Cordoba telah mencapai kejayaannya hingga pada taraf kekayaan dan
kemewahan yang belum pernah tercapai sebelumnya. Pembangunan pada masa
ini tumbuh pesat. Bangunan-bangunan berarsitektur megah bermunculan. Ketika
malam tiba, jalan-jalan di kota hingga keluar kota diterangi lampu hias yang
cantik dan anggun. Kota Cordoba pun terbebas dari sampah. Taman-taman nan indah
menjadi daya tarik bagi para pendatang yang singgah di kota itu. Mereka
bersantai di taman yang dipenuhi bunga dan tata landskap. Tak heran,
bila pada era itu Cordoba mempu mensejajarkan diri dengan Baghdad sebagai ibu
kota pemerintahan Abbasiyah. Tak cuma itu, Cordoba juga setaraf dengan
Konstantinopel, ibu kota kerajaan Bizantium serta Kaherah, ibukota kerajaan
Fatimiah.
Saat
Cordoba berada dalam puncak kejayaannya (abad ke 9 dan 10 M) terdapat lebih
dari 200 000 rumah di dalam kotanya. Jumlah masjid sebanyak 600 buah, 900
public baths, 50 rumah sakit dan sejumlah pasar besar yang menjadi pusat
perdagangan dan sentra perekonomian. Pada saat itu, Cordoba telah mampu
menempatkan duta besarnya hingga ke negara yang amat jauh seperti India dan
Cina. Kota bersejarah yang bertengger di sepanjang tebing sungai
Guadalquivir ini tidak ada tandingannya di Eropa dalam hal kemajuan
peradabannya.
2. Ciri-ciri Kota Islam di Timur Tengah
Kota adalah tempat Negara (daulah)
menikmati ketika mencapai tujuan barunya gaya kehidupan lux dan kenyamanan. Maka dari itu, penduduknya lebih memilih
kehidupan damai dan nyaman maupun membangun berbagai bangunan kehidupan damai
dan nyaman, maupun membangun berbagai bangunan hunian untuk ditinggali. Adapun
fakta yang menyatakan bahwa kota ialah dibangun untuk berfungsi sebagai tempat
untuk pemukiman dan perlindungan, segala
hal yang membahayakan yang berasal dari baik sesame manusia maupun lungkungan
alamiah yang sementara ataupun dalam waktu yang lama sepatutnya dapat dihalau
jauh-jauh dari mereka (yang menghuni didalamnya) dengan cara sebisa
mungkin efektif.
Menurut Ibnu Khaldun kota berfungsi sebagai penjaga (al-himaya) yang mencegah berbagai hal yang mendatangkan bahaya sebagai
pertahanan diri yang menghalau setiap serangan dan disitulah ia mendapatkan
segala kebutuhan dan komoditinya. Hanya disanalah penduduknya mendapatkan
perlindungan didalam tembok pertahanan yang mengelilinginya. Maka dari itu ia
sudah seharusnya di posisikan pada lokasi yang tidak dapat dijangkau (inacceessable) oleh musuh, bagi
serangan tiba-tiba , diatas bukit terjal atau diatas bagian (pulau) yang
dikelilingi air, disungai ataupun parit pertahanan, yang hanya bias dilalui
dengan bantuan alat penyebrangan sehingga sulit untuk dapat dijangkau dan
disana penduduknya sepenuhnya merasa aman dan terlindungi.[3]
Berikut ini merupakan ciri-ciri kota Islam di Timur Tengah menurut V.F
Costello dalam Urbanization in the Middle East (1997).
a.
Kota berbentuk benteng pertahanan sebagai lokasi bagi
kekuasaan militer, tembok benteng pertahanannya diatas posisi yang dijadikan
sebagai pertahanan alamiah (semisal kota
Khorramanad, Iran masih bertahan utuh).
b.
Terdapatnya komplek istana
kerajaan komplek hunian raja di istana mungkin sekali di tempat yang terpisah
semisal kota kairo yang dulunya adalah di Kairo lama (fustat), atau semacam
enclave yang didalamnya terdapat kumpulan masyarakat urban, sebgaiamana di
istana Tokapi, Istanbul. Istana musim panas terkadang terletak di luar
perbentangan, semisal di Fin dekat Khashan.
c.
Masjid pusat (jami’) dan bazaar.
Fungsi utama masjid adalah tempat untuk berdoa, tempat lembaga pengadilan dan
pusat pendidikan dan intelektual, tetapi ia juga menjadi fasilitas di bagian
lain kompleks masjid untuk administrasi dan lembaga-lembaga pendidikan,
disamping adanya fasilitas public semisal tempat pemandian.
d.
Komplek komersial juga ditemukan
diseluruh kota, tetapi dari sehi ukuran luas dan kuantitas ketersediaan
komoditi maupun jasa ukuran dan fungsi kota itu sendiri, Bazaar atau suq adalah pasar yang diberi
perlindungan dari berbagai element. Didalam bazaar terdapat komplek untuk
pertokoan, tempat-tempat monument, dan sentra komersal yang lebih besar adalah
khan dan caravanserai yang didesain
untuk berkumpulnya para pedagang dan pergudangan yang menyimpan komoditi.
e.
Terakhir adalah cirri khas yang
menjadi pertanda umum kota-kota Islam di Timur Tengah adalah tipe rumahnya. Di
tanah Arab dan Persia yang menjadi basis unit runah kediaman adalah perumahan
yang dibangun dengan bahan tertentu yang mengelilingi lokasi istana yang berada
pada pusatnya, acapkali dengan persediaan kolam. Ia justru menghadap kedalam
menghindari riuhnya kehidupan khalayak yang ramai. Bentuk rumahnya adalah hasil
dari tantangan lingkungan kehidupan keluarga dan ideology Islam.
3. Tata Letak Kota Cordoba di Andalusi
Andalusia,
yang saat ini namanya masih dipertahankan sebagai salah satu provinsi di
Spanyol, menyisakan banyak sekali jejak-jejak kejayaan Islam masa lalu di
daratan Eropa. Beberapa diantaranya adalah Cordoba (terdapat The Great Mosque of Cordoba dan Medina
Azzahara), Granada (tempat dimana Istana Alhambra juga dibangun disana), Malaga
dan Toledo. Berikut sekilas mengenai Cordoba, Medina Azzahara dan Toledo. Pada
saat pemerintahan Khilafah Bani Umayyah, Cordoba menjadi ibukota Spanyol di bawah
pemerintahan khalifah Islam dan dikenal tidak ada tandingannya di Eropa dalam
hal kemajuan peradabannya. Cordoba pada saat itu juga dikenal sebagai pusat
ilmu pengetahuan, di mana volume kunjungan ke perpustakaannya mencapai 400.000
kunjungan sedangkan perpustakaan-perpustakaan besar di Eropa, volume
pengunjungnya jarang mencapai angka seribu.[4]
Cordoba
adalah ibukota Spanyol sebelum Islam, yang kemudian diambil alih oleh bani
Umayyah. Oleh penguasa muslim, kota ini dibangun dan diperindah. Jembatan besar
dibangun diatas sungai yang mengalir di tengah kota. Taman-taman dibangun untuk
menghiasi ibukota Spayol islam itu. Pohon-pohon dan kembang nan indah di impor
dari Timur. Di seputar ibukota berdiri istana-istana yang megah yang semakin
memperindah pemandangan, setiap istana dan taman diberi nama tersendiri dan
dipuncaknya terpancang Istana Damsik.
a. Keadaan Kota Cordoba
Julukan permata dunia dinisbatkan pada Cordoba.
Bukan tanpa dasar sebutan itu muncul. Sebab, Cordoba yang berada di wilayah
Andalusia (Spanyol) itu sarat keindahan dan kemegahan. Umat Islam memainkan
peran penting dalam membangun Cordoba yang mengundang decak kagum itu.
Menurut Ehsan Masood, sebelumnya, keadaan Cordoba
tak seelok itu. Kota yang penting, namun tak diurus dengan baik. Abd al-Rahman
mengubah kota itu secara drastis. Cordoba tak hanya menjelma sebagai pusat
ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan, tapi juga kota
metropolitan yang indah serta tertata rapi. Penataan Cordoba menandai pula
puncak kejayaan pemerintahan Abd al-Rahman di dunia Barat. Kehebatan Cordoba
menjadi simbol penting. Dalam History of the Arabs, Philip K Hitti tak ragu
menyejajarkan Cordoba dengan dua kota masyhur lainnya di abad pertengahan,
yaitu Baghdad, ibu kota pemerintahan Dinasti Abbasiyah dan Konstantinopel. Umat
Islam, jelas dia, membangun Cordoba dengan kemampuan terbaiknya.[1]
Terdapat bangunan-bangunan berarsitektur indah,
menara-menara tinggi, tembok besar, jalan-jalan yang lebar, kanal kota, juga
pusat pendidikan dan ekonomi. Cordoba segera memperoleh popularitas
internasional serta membangkitkan pesona dan kekaguman bagi para pengunjungnya.
Philip K Hitti mencatat, pada puncak kejayaannya, Cordoba memiliki sekitar 130
ribu unit rumah tinggal, 73 perpustakaan besar, toko buku, masjid, istana,
serta 21 kota satelit. Demikian pula bermil-mil jalan mulus yang memudahkan
akses transportasi bagi warga dan para pedagang.
Sementara itu, dari catatan Thomas F Glick, pada
masa Abd al-Rahman I memegang kekuasaan, populasi di Cordoba sudah mencapai 25
ribu jiwa. Jumlah itu terus bertambah hingga menjadi 100 ribu jiwa pada abad
kesepuluh,[2] Pertumbuhan
kota tak terelakkan, terutama terkait penyediaan lahan perumahan serta
perekonomian. Cordoba adalah magnet bagi penduduk dari berbagai wilayah dan
negara. Karenanya perlu diatur sedemikian rupa. Seluruh pembangunan diarahkan
ke area-area tertentu sesuai fungsinya.
Begitu pula mulai muncul kota-kota satelit baru guna
menunjang kehidupan di kota utama. Glick menyebutkan, struktur dan tata kota
dikembangkan mengikuti sistem peninggalan bangsa Romawi. Cordoba sendiri
dirancang sebagai kota terpadu. Di dalamnya mencakup fasilitas pemerintahan,
perdagangan, maupun permukiman. Untuk itu, sistem jalan yang representatif dan
terintegrasi sangat dibutuhkan. Seperti ciri kota Romawi lainnya, Cordoba
dibangun bak benteng dengan pintu gerbang utama di empat penjuru mata angin.
Muslim mengembangkan rintisan tata kota peradaban Romawi ini.
b. Bagian-bagian
kota Cordoba
Glick menguraikan, keseluruhan area kota terbagi
menjadi pusat kota, pinggir kota, dan luar kota. Di jantung kota terkonsentrasi
kantor-kantor pemerintahan. Masjid Cordoba didirikan pada lokasi yang sama agar
memudahkan masyarakat mencapainya. Di pusat kota pula Abd al-Rahman membangun
istananya nan megah. Demi menambah kenyamanan, kota dihiasi taman-taman,
pelataran yang luas, juga air mancur. Lapangan rumput terdapat di beberapa
bagian kota. Jalanan yang lebar memudahkan warga untuk beraktivitas. Kegiatan
warga berpusat di sentra-sentra perdagangan. Pasar biasanya berada tak jauh
dari pusat kota atau dekat dengan masjid.[3]
Di area tertentu berdiri pasar yang menjajakan
barang dagangan. Misalnya, pasar perhiasan, kerajinan, atau toko buku.
Perniagaan dan kegiatan sosial juga bisa berlangsung di ruas jalan tertentu
atau pelataran. Jalan utama yang disebut dengan zuqaq al-kabir terhubung dengan
pintu gerbang Lokasi itu menjadi area publik yang paling ramai. Karena itu,
pemerintah menetapkan larangan agar di sana tak dibangun perumahan. Adapun
kawasan permukiman terletak di wilayah pinggir kota. Tidak seperti di pusat
kota, jalanan di wilayah permukiman dirancang tidak terlalu lebar. Hanya
sekitar tiga meter. Jalan dibuat berkelok-kelok mengikuti kontur alam yang ada.
Ini bertujuan agar sistem drainase dapat berfungsi baik sewaktu hujan turun.
Tata letak permukiman menggunakan sistem blok. Menurut Glick, satu blok terdiri
dari delapan atau sepuluh bangunan rumah. Pengaturan ini sangat penting untuk melahirkan
kerapian.
Blok semacam itu juga bertujuan layaknya kluster perumahan pada masa modern sekarang, yaitu mengefektifkan pengamanan lingkungan. Beberapa kawasan permukiman, dihuni oleh komunitas non-Muslim, terutama penganut Yahudi dan Nasrani. Mereka melengkapi kawasannya dengan sarana ibadah, pendidikan, dan perdagangan. Dari kalangan Muslim, sejumlah komunitas membentuk kawasan tersendiri misalnya kaum Barber dari Afrika Utara. Kota satelit dibangun demi memperkuat daya dukung kota. Antara lain kota Madina al-Zahra dan Calatrava. Di lokasi itu berdiri banyak sarana, seperti kantor pemerintah dan fasilitas public.
Blok semacam itu juga bertujuan layaknya kluster perumahan pada masa modern sekarang, yaitu mengefektifkan pengamanan lingkungan. Beberapa kawasan permukiman, dihuni oleh komunitas non-Muslim, terutama penganut Yahudi dan Nasrani. Mereka melengkapi kawasannya dengan sarana ibadah, pendidikan, dan perdagangan. Dari kalangan Muslim, sejumlah komunitas membentuk kawasan tersendiri misalnya kaum Barber dari Afrika Utara. Kota satelit dibangun demi memperkuat daya dukung kota. Antara lain kota Madina al-Zahra dan Calatrava. Di lokasi itu berdiri banyak sarana, seperti kantor pemerintah dan fasilitas public.
Untuk wilayah luar kota, kawasan ini digunakan
sebagai pusat pertanian, pertambangan, dan industri. Kawasan sebelah tenggara,
seperti Zaragoza, dikenal beriklim sejuk dan sangat subur. Dari sini berbagai
produk pertanian, seperti gandum, buah-buahan, dan zaitun, dihasilkan dan didistribusikan
ke sejumlah kota. Sevilla menjadi pusat pengekspor kapas, zaitun, dan minyak,
di samping merupakan kota pelabuhan terbesar. Dari wilayah Malaga dan Jaen, di
sana ditanam kunyit, daun ara, juga dijadikan sentra kerajinan marmer.
Sementara itu, di Toledo serta Almeria banyak ditemui perajin logam dan baja.
Majunya sektor perekonomian membuat kota-kota tadi
turut bertumbuh pesat. Glick mengungkapkan, pembangunan kota-kota itu dilakukan
serupa dengan konsep yang terdapat di Cordoba. Namun, mereka memiliki
kekhususan. Kota Leon adalah pusat militer. Sedangkan, Santiago menjadi rute
penting jamaah haji. Kota Jane dan Algave kondang dengan kegiatan kerajinan
maupun pertambangan emas dan perak. ed: ferry kisihandi Pada perkembangannya,
muhtasib juga mengemban tugas mengawasi ketertiban dan pembangunan kota. Mereka
menjaga tata bangunan, termasuk mengatur ketinggian bangunan. Hal inilah yang
menjadikan Cordoba dan kota-kota besar di dunia Islam sangat tertata.
Namun, kontribusi terbesar muhtasib adalah dalam
menjaga ketertiban di pasar. Apalagi saat itu, salah satu tempat paling sibuk
di Cordoba adalah pasar publik. Tak heran jika pengembangan pasar memperoleh
perhatian besar. Lokasi pasar biasanya tak jauh dari pusat kota. Bahkan, pasar
utama berdekatan dengan masjid besar. Pasar-pasar pendukung pun tersebar di
beberapa kawasan atau permukiman warga. Ada beberapa jenis pasar. Pertama,
pasar permanen (suq), yang kegiatannya berlangsung setiap hari. Pasar ini
terdiri dari bangunan toko yang ditata sebagai lokasi dagang.
Dilengkapi juga dengan jalan-jalan penghubung untuk
mempermudah lalu lintas angkut barang. Terdapat pelataran luas yang mampu
mengakomodasi keperluan pengunjung dan pedagang. Jenis pasar kedua adalah pasar
yang digelar pada hari-hari tertentu dan berlangsung di beberapa lokasi. Di
Distrik Castillan, misalnya, merupakan lokasi pasar Selasa. Pasar Rabu
berlangsung di kawasan Arva, Alarba, Larva dan Distrik Valencia of Cuart.
Sahagun menjadi tempat untuk pasar yang berlangsung setiap Senin, dan Najera
bagi pasar Kamis. Pasar-pasar ini tidak kalah ramai dibanding aktivitas di
pasar utama. Berbagai barang dagangan diperjualbelikan, baik yang dihasilkan di
wilayah sekitar mapupun dari luar negeri. Pedagang asing banyak berdatangan ke
Cordoba seiring perkembangan sejak abad 8 Masehi. Sedangkan, jenis lainnya,
tambah Glick, adalah pasar yang menjual barang-barang tertentu, seperti pasar
ternak yang ada di Castallan.
Kesimpulan
Dari penjelasan makalah ini maka dapat disimpulakan
cirri-ciri fisik kota Islam dapat dilihat dari aspek yang sama dalam Negeri
Islam. Seperti masjid jami’ dititik tengah kota sebagai pusat aktivitas religi-
spiritual masyarakat kota, adapun aspek denyut nadi kehidupan ekonominya dapat
dijumpai di bazaar (suqs), biasanya untuk menghindari serangan (invasi) dari
luar kota Islam bercirikan memiliki perbentengan (dengan tembok-tembok
pertahanan kokoh di sekelilingnya) yang melindungi rakyatnya dari para penakluk,
keberadaan istana yang menjadi sentral administrative kota sudah tentu menjadi
persyaratan sebuah kota. Rajamembangun pemukuiman pegawai administrative dan
aparat kerajaannya, sehingga pada dasarnya kota Islam adalah pemukiman yang
didiami oleh berbagai kluster family-famili yang menjadi anggota masyarakat
kota Islam.
Daftar Pustaka
Adiwidjadjanto
Koes, Sejarah Kota-Kota Islam,
Fakul;tas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya,2009
Mencoal Maria
Rosa, Sepotong Surga di Andalusia , Bandung:
Mizn Media Utama, 2006
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasyah Islamiya II
, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2008
http://koran.republika.co.id/koran/36/122768/Tata_Kota_di_Andalusia
(09 November 2010 )
http://www.artikel"Islamic and Christian Spain in the Early
Middle Ages."
Inne
Rahma,“Andalusia
inMyMind: Cordoba, Medina Azzahara, Toledo http://traveloguekami.multiply.com/photos/album/59
[1] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasyah
Islamiya II ( Jakarta: PT Raja Grafindo, 2008), 88
[2]Ibid.,95
[3] Ibnu
Khaldun, Muqadimah, h 273 dalam buku
Koes Adiwidjadjanto, Sejarah Kota-Kota
Islam, Fakul;tas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya2009, hal 28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar